Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kemulan
Di kalangan umat hindu di Indonesia khususnya di Bali telah muncul
kesadaran dan keinginan untuk meningkatkan cara-cara hidup beragama
serta mendalami ajaran-ajaran agama Hindu yang dianutnya dengan
menggunakan pendekatan rasionalis filosofis dalam upaya menembus tabir
kegelapan akibat kungkungan dongmatisme. Dalam hubungan ini pula betapa
pentingnya bentuk-bentuk upacara dan upakara agama mendapat pengkajian
untuk dapat dipahami arti, fungsi dan kegunaannya dengan menggunakan
kajian sastra agama. Maka dari itu kalau toh dipandang perlu dilakukan
suatu modifikasi terhadap upacara dan upakara agama, maka modifikasi itu
akan berkisar ada unsur tradisi saja yang merupakan lapisan luar dari
pada upacara agama, sedangkan intinya yang mengkonsepsikan ajaran-
ajaran agama akan tetap dijaga kelestariannya sepanjang masa.
upacara dan upakara dalam agama Hindu perlu dikaji secara seksama
sehingga dapat diketahui inti hakekatnya serta makna yang dikandung
didalamnya. Khusus didalam upacara mamukur masih banyak terdapat
variasi, baik mengenai namanya, pengertiannya dan upakaranya maupun
mengenai tata caranya. Patutlah diakui bahwa adanya berbagai variasi itu
tidak dapat dihindari, karena agama Hindu bersifat luwes dan elastis
dalam arti dapat dilaksanakan menurut desa- kala- patra dan didasarkan
pada caturdresta serta dalam wujud kanista-madya-utama. Kendatipun
upacara dan upakara agama Hindu tidak bisa diseragamkan secara
menyeluruh, namun mutlak diperlakukan adanya suatu pedoman yang dapat
dijadikan pegangan, guna menghindari terjadinya perbedaan- perbedaan
mendasar yang dapat mengaburkan makna dan tujuan yang ingin dicapai
melalui penyelenggaran upacara itu sendiri.
Upacara mamukur biasanya dilanjutkan dan dirangkaikan dengan upacara
ngalinggihang dewa pitara yang didalam sastranya disebut Nilapati di
palinggih Kamulan atau Kamimitan di Sanggah atau Pamerajan. Di dalam
pustaka Pujapitra upacara ini disebut atmapratistha yaitu
mempratisthakan arwah yang telah suci itu yang disebut dewa pitara.
Upacara mamukur adalah kelanjutan dari upacara ngaben dalam keseluruhan cakupan pitra yadnya dalam aspek adhyatmika. Tujuannya adalah meningatkan lagi kesucian arwah orang yang telah di Abenkan, sehingga sampai ke tingkat dewapitara yang
berada dialam dewa atau swarga. Apabila dalam upacara ngaben arwah
seseorang baru sampai ke tingka pitara yang berada di alam pitra atau
bhwahloka, maka tingkat kesucian arwahnya itu barulah semi suci atau di
dalam bahasa Bali disebut kedas ( bersih dari kotoran sthulasarira atau badan wadag), belum mencapai sepenuhnya. Di dalam upacara ngaben terjadi suatu pemisahan jiwatma dengan suksmasarira, sedangkan di dalam upacara mamukur terjadi pemisahan jiwatma dengan antahkarana , sehingga jiwatma menjadi suci yang disebut dewa pitara dan berada di alam desa atau swah loka ( swarga). Itulah sebabnya upacara mamukur disebut upacara atmawedana di dalam Pujapitra yaitu suatu upacara yang memproses peningkatan kesucian daripada jiwatma itu.
Upacara memukur merupakan suatu keharusan
bagi umat Hindu untuk dilaksanakan sebagai kelanjutan daripada upaara
ngaben, guna arwah seseorang itu mencapai kesucian sampai tingkat dewapitara, untuk dapat jiwatmanya reinkarnasi atau menitis kembali kedunia sesuai dengan karmawasana yang
masih melekatinya. Apabila tidak diupacarai mamukur, arwah seseorang
itu akan tetap berada di alam pitara dan mengambang tidak bisa
reinkarnasi karena jiwatmanya masih dikungkung oleh antahkarana, sehingga jiwatmanya tidak mendapat kesempatan melaksanaan subhakarma untuk menembus asubhakarma yang pernah diperbuatnya dimasa kehidupannya yang dahulu yang masih melekatinya sebagai karmawasana. Dalam hal yang demikian itulah arwahnya akan menyakiti keturunannya sendiri, karena tidak tuntas membayar hutang jasa atau pitra rnam kepada leluhurnya, sehingga terjadilah gangguan- gangguan spiritual di lingkungan keluarga keturunannya.
Demikianlah upacara mamukur mengandung suatu tujuan mulia yang
meningkatkan lagi kesucian arwah orang yang telah di Abenkan itu untuk
bisa mencapai swahloka atau swarga, karena hanya arwah yang telah suci
yang dapat mencapai swarga. Maka dari itu melaksanakan upacara memukur
adalah suatu keharusan bagi umat Hindu dalam rangka menyelenggarakan
upacara pitra yadnya scara keseluruhan. Sementara itu ada suatu
pandangan dalam masyarakat yang beranggapan di Puri bekas kerajaan
dahulu melaksanakan upacara mamukur atau maligya, maka masyarakat
sekitar Puri tersebut tidak berani mendahului melaksanakan upacara
mamukur untuk leluhurnya. Dasar pemikirannya adalah mengkaitkan upacara
mamukur dengan ngiring ke Puri atau ke Griya. Pandangan yang
demikian itu beralasan pula, namun tidaklah mesti mengkaitkan upacara
agama bak ngaben maupun mamukur dengan ngiring ke Puri atau
Geria, karena upacara agama dapat dilaksanakan secara individual dan
dapat pula dilaksanakan secara kolektif. Sesungguhnya agama itu adalah
bersifat individual karena didasarkan atas rasa dan rasio. Namun dalanm
hal- hal tertentu dan ditinjau dari segi efisiensi dan nilai- nilai
sosial, maka beberapa bentuk upacara agama dapat pula dilaksanakan
secara kolektif.
Ngunggahang / Ngelinggihin Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan setelah upacara atma wedana sebagaimana disebutkan dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan adalah bermaksud untuk mempersatukan dewa pitara (roh / atman leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan).
Kalimat “irika mapisah lawan Dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Siwatma (ibunta) dan Paratma (ayahta).
Hal ini merupakan realisasi dari tujuan akhir agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan Paramatma).
Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana Kanda dari ajaran agama Hindu. Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan juga bermaksud mengabadikan / melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu dipuja mohon doa restu dan perlindungan.
Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan yaitu Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal: “..iti kramaning ngunggahang pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa walws dinanya, sawulan pitung dinanya…”.
Artinya: “…Ini perihalnya naikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya..”
Jadi upacara ngelinggihang Dewa Pitara merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa sehingga disebut Dewa pitara maka upacara ini tidak tergolong pitra yajnya lagi, melainkan tergolong Dewa Yadnya.
Dari uraian di atas itu jelaslah bagi kita bahwa Sanggah Kemulan di samping untuk memuja Hyang Widhi juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah manunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan atau Hyang Widhi).
Demikian disebutkan beberapa hal tentang ngungghang dewa pitara pada
sanggah kemulan untuk selalu dipuja mohon doa restu dan perlindunganNYA.
Untuk mengetahui bagaimana kutipan lontar Purwabhumi kamulan berikut ini kami sertakan dibawah ini:
Lontar purwabhumi kamulan,
ring wus mangkana,
ikang daksina pengadegan sang dewa pitara tinuntunakena maring sanggah
kamulan,yan lanang unggahakena maring tengen,yan wadon unggahakena
maring kiwa,irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni,winastu jaya-jaya de
sang pandita kinabhaktyanana mwah dening swarganya mwang santana nira.
Telas mangkana,tutug saparikramanya,puja simpen wenang geseng akena
juga,pushadika,winadahan nyuh gading saha kawangi pendem ring ulwaning
sanggah kamulan saharamnya dening kidung kakawin sahawruhanira. Mangkana
kramanya benering kaprawrtinta marakrti ring kawitan,yan tan samangkana
tan tutug ikang pali-pali sang dewa pitara,maneher sira gawang tan
molih unggwen tan anapasenetanya,dadi kasambatsara santananya mwang
wandu warganya,pada ya ketepu tegah de sang guru pitaranya,ya dadi
gering ambeda-beda tan manut tataning ashoda,metu gering mangyat mangyut
amung panglaku,amungsangkrama,ayan,lwang mwang kena gering angrerepe
edan-edanan,kena bayu sangkara,ogan tunggah,angliyep mwah kadikmeling
kena sungsung tinahanan pwa dena sanggahnya kowos boros sakwehning raja
drwenya henti tanpa krama, satata rumasa kurang ring pangan kinum,apan
kerugan dening kala bhuta mwah dengen. Apan sang dewa pitaranya seaawase
tan ane linggih,tan ane jeneknya dening santananya tuna prakerti tuna
pangewruh,tuna pangasa kewala wruh mangrasani wareg mwang lapa tan
maphala prawrti ring raga sarira,tan pakrti ring kawitan.
Artinya: setelah itu daksina palinggih sang dewa pitara itu distanakan di kemulan, kalau laki (roh suci itu) di stanakan di ruang bagian kanan, kalau perempuan, distanakan di ruang kiri (dari kemulan) di sana bersatu dengan Hyangnya dulu, oleh sang pandita diberikan puja jaya-jaya, hendaknya disembah oleh semua warga keturunannya. Setelah demikian selesai tata caranya dan barulah dilakukan pralina dengan puja penyimpenan. Daksina palinggih itu boleh di lukar terus dibakar, abunya dimasukkan ke dalam kelapa gading disertai dengan kewangen lalu ditanam di belakang sanggah kamulan dibarengi dengan kidung kakawin yang diketahui oleh keluarganya. Begitulah caranya, suatu cara yang benar untuk berbakti kepada Leluhur. Kalau tidak seperti itu tidaklah selesai upacara untuk Dewa Pitara, sang Dewa Pitara akan berkeliaran tidak mendapat tempat, tidak ada tempatnya yang pasti, maka dikutuklah keturunannya dan keluarganya, semuanya tertimpa penyakit disakiti oleh dewa pitaranya, itulah yang menyebabkan datang penyakit yang aneh-aneh tidak bisa diobati menurut ketentuan usada. Munculnya penyakit ajaib, tingkah laku yang tidak patut, dibuat gila, hati rusak, ogan, tunggah, ayan , bingung, sakit lemah, murung, sakit ingatan, sungsung baru dan juga menyebabkan boros kekayaanya habis tanpa sebab, selalu merasa kurang makan dan minum, sebab telah dirusak oleh bhuta kala karena selamanya Dewa Pitara tidak mempunyai tempat. Atau tempatnya tidak menentu, karena keturunannya kurang berbhakti, kurang pengetahuan, kurang perasaan, karena hanya tahu merasakan kenyang dan lapar, tidak berjasa pada diri sendiri dan tidak pula berbhakti kepada leluhur.
Semoga dengan kita melaksanakan upacara memukur/ngeroras/meligya sebagai kelanjutan dari ucapara Ngaben, kita sebagai pretisentannya dapat mengantar para leluhur untuk menempati tempat yang seharusnya dan tidak terombang ambing karena belum dapat membayar utang semasa beliau hidup di bumi.
Semoga kita mendapat restu dari beliau untuk mewujudkan keinginang para leluhur untuk mencapai alam Surga dan disebut Dewa Pitara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar