Jumat, 07 Juli 2017

Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kemulan

Di kalangan umat hindu di Indonesia khususnya di Bali telah muncul kesadaran dan keinginan untuk meningkatkan cara-cara hidup beragama serta mendalami ajaran-ajaran agama Hindu yang dianutnya dengan menggunakan pendekatan rasionalis filosofis dalam upaya menembus tabir kegelapan akibat kungkungan dongmatisme. Dalam hubungan ini pula betapa pentingnya bentuk-bentuk upacara dan upakara agama mendapat pengkajian untuk dapat dipahami arti, fungsi dan kegunaannya dengan menggunakan kajian sastra agama. Maka dari itu kalau toh dipandang perlu dilakukan suatu modifikasi terhadap upacara dan upakara agama, maka modifikasi itu akan berkisar ada unsur tradisi saja yang merupakan lapisan luar dari pada upacara agama, sedangkan intinya yang mengkonsepsikan ajaran- ajaran agama akan tetap dijaga kelestariannya sepanjang masa.
 
upacara dan upakara dalam agama Hindu perlu dikaji secara seksama sehingga dapat diketahui inti hakekatnya serta makna yang dikandung didalamnya. Khusus didalam upacara mamukur masih banyak terdapat variasi, baik mengenai namanya, pengertiannya dan upakaranya maupun mengenai tata caranya. Patutlah diakui bahwa adanya berbagai variasi itu tidak dapat dihindari, karena agama Hindu bersifat luwes dan elastis dalam arti dapat dilaksanakan menurut desa- kala- patra dan didasarkan pada caturdresta serta dalam wujud kanista-madya-utama. Kendatipun upacara dan upakara agama Hindu tidak bisa diseragamkan secara menyeluruh, namun mutlak diperlakukan adanya suatu pedoman yang dapat dijadikan pegangan, guna menghindari terjadinya perbedaan- perbedaan mendasar yang dapat mengaburkan makna dan tujuan yang ingin dicapai melalui penyelenggaran upacara itu sendiri. 
 
Upacara mamukur biasanya dilanjutkan dan dirangkaikan dengan upacara ngalinggihang dewa pitara yang didalam sastranya disebut Nilapati di palinggih Kamulan atau Kamimitan di Sanggah atau Pamerajan. Di dalam pustaka Pujapitra upacara ini disebut atmapratistha yaitu mempratisthakan arwah yang telah suci itu yang disebut dewa pitara. 
 
Upacara mamukur adalah kelanjutan dari upacara ngaben dalam keseluruhan cakupan pitra yadnya dalam aspek adhyatmika. Tujuannya adalah meningatkan lagi kesucian arwah orang yang telah di Abenkan, sehingga sampai ke tingkat dewapitara yang berada dialam dewa atau swarga. Apabila dalam upacara ngaben arwah seseorang baru sampai ke tingka pitara yang berada di alam pitra atau bhwahloka, maka tingkat kesucian arwahnya itu barulah semi suci atau di dalam bahasa Bali disebut kedas ( bersih dari kotoran sthulasarira atau badan wadag), belum mencapai sepenuhnya. Di dalam upacara ngaben terjadi suatu pemisahan jiwatma dengan suksmasarira, sedangkan di dalam upacara mamukur terjadi pemisahan jiwatma dengan antahkarana , sehingga jiwatma menjadi suci yang disebut dewa pitara dan berada di alam desa atau swah loka ( swarga). Itulah sebabnya upacara mamukur disebut upacara atmawedana di dalam Pujapitra yaitu suatu upacara yang memproses peningkatan kesucian daripada jiwatma itu.
Upacara memukur merupakan suatu keharusan bagi umat Hindu untuk dilaksanakan sebagai kelanjutan daripada upaara ngaben, guna arwah seseorang itu mencapai kesucian sampai tingkat dewapitara, untuk dapat jiwatmanya reinkarnasi atau menitis kembali kedunia sesuai dengan karmawasana yang masih melekatinya. Apabila tidak diupacarai mamukur, arwah seseorang itu akan tetap berada di alam pitara dan mengambang tidak bisa reinkarnasi karena jiwatmanya masih dikungkung oleh antahkarana, sehingga jiwatmanya tidak mendapat kesempatan melaksanaan subhakarma untuk menembus asubhakarma yang pernah diperbuatnya dimasa kehidupannya yang dahulu yang masih melekatinya sebagai karmawasana. Dalam hal yang demikian itulah arwahnya akan menyakiti keturunannya sendiri, karena tidak tuntas membayar hutang jasa atau pitra rnam kepada leluhurnya, sehingga terjadilah gangguan- gangguan spiritual di lingkungan keluarga keturunannya.
 
Demikianlah upacara mamukur mengandung suatu tujuan mulia yang meningkatkan lagi kesucian arwah orang yang telah di Abenkan itu untuk bisa mencapai swahloka atau swarga, karena hanya arwah yang telah suci yang dapat mencapai swarga. Maka dari itu melaksanakan upacara memukur adalah suatu keharusan bagi umat Hindu dalam rangka menyelenggarakan upacara pitra yadnya scara keseluruhan. Sementara itu ada suatu pandangan dalam masyarakat yang beranggapan di Puri bekas kerajaan dahulu melaksanakan upacara mamukur atau maligya, maka masyarakat sekitar Puri tersebut tidak berani mendahului melaksanakan upacara mamukur untuk leluhurnya. Dasar pemikirannya adalah mengkaitkan upacara mamukur dengan ngiring ke Puri atau ke Griya. Pandangan yang demikian itu beralasan pula, namun tidaklah mesti mengkaitkan upacara agama bak ngaben maupun mamukur dengan ngiring ke Puri atau Geria, karena upacara agama dapat dilaksanakan secara individual dan dapat pula dilaksanakan secara kolektif. Sesungguhnya agama itu adalah bersifat individual karena didasarkan atas rasa dan rasio. Namun dalanm hal- hal tertentu dan ditinjau dari segi efisiensi dan nilai- nilai sosial, maka beberapa bentuk upacara agama dapat pula dilaksanakan secara kolektif.
 
Ngunggahang / Ngelinggihin Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan setelah upacara atma wedana sebagaimana disebutkan dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan  adalah bermaksud untuk mempersatukan dewa pitara (roh / atman leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). 
Kalimat “irika mapisah lawan Dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Siwatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). 
Hal ini merupakan realisasi dari tujuan akhir agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan Paramatma). 
Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana Kanda dari ajaran agama Hindu. Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan juga bermaksud mengabadikan / melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu dipuja mohon doa restu dan perlindungan.  
Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan yaitu Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal:  “..iti kramaning ngunggahang pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa walws dinanya, sawulan pitung dinanya…”. 
Artinya: “…Ini perihalnya naikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya..”

Jadi upacara ngelinggihang Dewa Pitara merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa sehingga disebut Dewa pitara maka upacara ini tidak tergolong pitra yajnya lagi, melainkan tergolong Dewa Yadnya
Dari uraian di atas itu jelaslah bagi kita bahwa Sanggah Kemulan di samping untuk memuja Hyang Widhi juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah manunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan atau Hyang Widhi).
Demikian disebutkan beberapa hal tentang ngungghang dewa pitara pada sanggah kemulan untuk selalu dipuja mohon doa restu dan perlindunganNYA.
 
Untuk mengetahui bagaimana kutipan lontar Purwabhumi kamulan berikut ini kami sertakan dibawah ini:

Lontar purwabhumi kamulan,

 
ring wus mangkana, ikang daksina pengadegan sang dewa pitara tinuntunakena maring sanggah kamulan,yan lanang unggahakena maring tengen,yan wadon unggahakena maring kiwa,irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni,winastu jaya-jaya de sang pandita kinabhaktyanana mwah dening swarganya mwang santana nira. Telas mangkana,tutug saparikramanya,puja simpen wenang geseng akena juga,pushadika,winadahan nyuh gading saha kawangi pendem ring ulwaning sanggah kamulan saharamnya dening kidung kakawin sahawruhanira. Mangkana kramanya benering kaprawrtinta marakrti ring kawitan,yan tan samangkana tan tutug ikang pali-pali sang dewa pitara,maneher sira gawang tan molih unggwen tan anapasenetanya,dadi kasambatsara santananya mwang wandu warganya,pada ya ketepu tegah de sang guru pitaranya,ya dadi gering ambeda-beda tan manut tataning ashoda,metu gering mangyat mangyut amung panglaku,amungsangkrama,ayan,lwang mwang kena gering angrerepe edan-edanan,kena bayu sangkara,ogan tunggah,angliyep mwah kadikmeling kena sungsung tinahanan pwa dena sanggahnya kowos boros sakwehning raja drwenya henti tanpa krama, satata rumasa kurang ring pangan kinum,apan kerugan dening kala bhuta mwah dengen. Apan sang dewa pitaranya seaawase tan ane linggih,tan ane jeneknya dening santananya tuna prakerti tuna pangewruh,tuna pangasa kewala wruh mangrasani wareg mwang lapa tan maphala prawrti ring raga sarira,tan pakrti ring kawitan.


Artinya: setelah itu daksina palinggih sang dewa pitara itu distanakan di kemulan, kalau laki (roh suci itu) di stanakan di ruang bagian kanan, kalau perempuan, distanakan di ruang kiri (dari kemulan) di sana bersatu dengan Hyangnya dulu, oleh sang pandita diberikan puja jaya-jaya, hendaknya disembah oleh semua warga keturunannya. Setelah demikian selesai tata caranya dan barulah dilakukan pralina dengan puja penyimpenan. Daksina palinggih itu boleh di lukar terus dibakar, abunya dimasukkan ke dalam kelapa gading disertai dengan kewangen lalu ditanam di belakang sanggah kamulan dibarengi dengan kidung kakawin yang diketahui oleh keluarganya. Begitulah caranya, suatu cara yang benar untuk berbakti kepada Leluhur. Kalau tidak seperti itu tidaklah selesai upacara untuk Dewa Pitara, sang Dewa Pitara akan berkeliaran tidak mendapat tempat, tidak ada tempatnya yang pasti, maka dikutuklah keturunannya dan keluarganya, semuanya tertimpa penyakit disakiti oleh dewa pitaranya, itulah yang menyebabkan datang penyakit yang aneh-aneh tidak bisa diobati menurut ketentuan usada. Munculnya penyakit ajaib, tingkah laku yang tidak patut, dibuat gila, hati rusak, ogan, tunggah, ayan , bingung, sakit lemah, murung, sakit ingatan, sungsung baru dan juga menyebabkan boros kekayaanya habis tanpa sebab, selalu merasa kurang makan dan minum, sebab telah dirusak oleh bhuta kala karena selamanya Dewa Pitara tidak mempunyai tempat. Atau tempatnya tidak menentu, karena keturunannya kurang berbhakti, kurang pengetahuan, kurang perasaan, karena hanya tahu merasakan kenyang dan lapar, tidak berjasa pada diri sendiri dan tidak pula berbhakti kepada leluhur.

Semoga dengan kita melaksanakan upacara memukur/ngeroras/meligya sebagai kelanjutan dari ucapara Ngaben, kita sebagai pretisentannya dapat mengantar para leluhur untuk menempati tempat yang seharusnya dan tidak terombang ambing karena belum dapat membayar utang semasa beliau hidup di bumi.
Semoga kita mendapat restu dari beliau untuk mewujudkan keinginang para leluhur untuk mencapai alam Surga dan disebut Dewa Pitara.

 

 

Sumber :

http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/2011/06/ngunggahang-dewa-pitara-pada-sanggah.html

https://pendidikanagamahindu.wordpress.com/upacara-mamukur/

http://www.dharmagiriutama.org/bhisama-hyang-pasupati-pramesti-guru.html

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar